Curhatan Tentang Korea Selatan

Sabr's Daily
9 min readFeb 14, 2020

22 Januari 2020

Tentang apa yang terjadi semenjak lima minggu yang lalu,

Dengan keberanian yang seadanya, saya mulai menjawab pertanyaan tentang bagaimana rasanya bergantung pada diri sendiri di negeri yang tak kita kenali selama berminggu-minggu, mencoba bertahan dan percaya pada raga kita seutuhnya.

Dimulai dari minggu pertama, ketika semuanya masih terasa baru dan beda. Saya mulai menyusuri daerah-daerah tempat saya tinggal, melihat bagaimana semua orang terlihat sibuk dan memiliki tujuan kecuali saya. Bagaimana banyak sekali orang yang sedang mengajak peliharaannya berlari, dan mulai berpikir bahwa bahkan anjing dan kucing pun punya teman disini. Sendiri, tapi tidak pernah merasa sepi. Itu adalah kalimat yang tepat untuk menjelaskan apa yang saya rasakan selama ini.

Minggu kedua, minggu dimana saya sudah mulai terbiasa dengan segalanya, adalah minggu yang paling menyenangkan. Saya mulai memberanikan diri keluar kota menggunakan bus yang websitenya tidak menyediakan Bahasa Inggris (apalagi Indonesia), tapi saya yakin bahwa saya akan sampai (hehe, tentu mengutip dari Hindia). Perjalanan empat jam dari Busan ke Jeonju diisi oleh kekhawatiran karena cuaca yang buruk didorong oleh keteledoran saya yang memutuskan untuk tidak membawa payung. Ternyata hujannya tidak menganggu, tapi dingin yang mencapai minus beberapa celcius yang membuat saya ingin secepatnya masuk hostel dan rebahan.

Blue Boat Hostel. Disana saya bertemu dengan beberapa orang yang kebetulan juga sedang berjalan-jalan sendiri, namun semuanya adalah orang Korea Selatan, yang membuat saya bingung setengah mati menemukan kalimat yang tepat untuk bisa berbicara dengan mereka. Mereka terbatas dengan Bahasa Inggrisnya, saya terbatas dengan Bahasa Korea saya. Kita berdiskusi tentang bagaimana melakukan perjalanan seorang diri adalah hal yang sangat menenangkan dan juga diperlukan.

Hari kedua di Jeonju saya pindah hostel dan menginap di rumah tradisional yang terletak di daerah Hanok Village. Pemiliknya ramah sekali, terus memuji Bahasa Korea saya yang bisa dibilang pas-pasan. Mereka sepasang suami-isteri yang menyewakan kamar khusus untuk turis yang berpergian sendirian. Kamarnya hanya untuk satu orang.

Jeonju tanpa matahari.

Saya selalu menggunakan earphone sebelah telinga dimanapun, mendengarkan lagu Hindia yang berjudul ‘Mata Air’ atau ‘Evaluasi’ untuk selalu mengingatkan bahwa perjalanan ini adalah hal yang baik untuk saya. Kadang saya mengganti musik menjadi lagu dari Korea Selatan, juga dilakukan untuk membuat saya benar-benar merasa seperti berada di negeri yang menurut saya kompleks ini. Lagu Hindia menurut saya adalah curhatan semua orang yang di-compile menjadi satu lagu. Semua yang ia tulis dan suarakan ada benarnya. Setidaknya menurut saya, orang yang memilih logika daripada perasaan.

14 Februari 2020

Perjalanan sudah selesai tepat dua minggu lalu, namun saya baru ingat hari ini untuk menyelesaikan tulisannya. Sudah banyak yang ada di otak saya waktu itu yang terlupakan, tapi semoga masih bisa bercerita dengan perasaan. Seingatnya dimulai dari minggu ketiga sampai kelima, saya tidak sempat lagi jalan-jalan selain di Busan.

Foto yang saya ambil di daerah Busan tanggal 12 Januari 2020.

Bertemu dan berinteraksi dengan anak-anak di Busan membuat saya sadar bahwa kita beruntung bisa mendapatkan edukasi tentang Bahasa Inggris sedari muda. Bagaimana di Indonesia kebanyakan kita prefer menggunakan subtitle dibandingkan dubbing. Bagaimana kita terpaksa menggunakan Bahasa Inggris untuk memainkan video games favorit kita. Di Korea Selatan, mereka semua meng-translate hampir semua yang berasal dari luar, meminimalisir kesempatan mereka bisa mengembangkan bahasanya (walaupun sekarang sudah lebih banyak tulisan Inggris daripada sebelumnya). Namun di sisi lain saya mengerti mereka sangat mencintai bahasa dan kultur mereka sendiri. Sama seperti banyak negara lain di dunia. Teman saya yang berasal dari Belanda, sewaktu di Korea Selatan bercerita bahwa rata-rata orang Belanda bisa Bahasa Inggris karena mereka memang terpaksa bisa, mengingat Belanda adalah negara yang kecil dan mereka bergantung pada transaksi internasional. Dengan keadaan ini, semoga kita semua tetap memiliki rasa nasionalisme terhadap negara masing-masing, ya.

Cerita paling seru datang di minggu terakhir. Karena yang tersisa hanya Farewell Party, saya memiliki banyak waktu luang untuk (lagi-lagi) jalan-jalan keluar Busan. Saya memutuskan pergi ke Seoul, ibu kota Korea Selatan selama dua malam. Menginap di hostel lagi berharap bertemu teman, perjalanan saya ke Seoul tidak membuahkan teman baru. Sayangnya, di hari pertama ketika saya sampai teman sekamar saya belum sampai, dan ketika saya pulang mereka semua sudah menutup tirai. Sedih, namun di sisi lain saya bisa bertemu dengan beberapa teman yang kebetulan juga sedang berada di Seoul. Satu bernama Raihan yang sedang liburan dengan keluarga, dan satu bernama Raudhina yang kebetulan juga sedang volunteer di Bucheon, kota dekat Incheon dan Seoul.

Di dekat tempat saya menginap. Cantik. Cuacanya cerah.
Foto dengan Raihan dan Raudhina.

Alih-alih membeli oleh-oleh, saya memutuskan untuk makan ramyeon di Han River, fantasi yang saya sudah bayangkan dari dahulu, dan pergi ke Tongin Market untuk mencoba pengalaman lunch box-nya, yang ternyata tutup karena saya datang saat hari libur besar di sini. Namun setidaknya saya dapat mencoba tteokbokki goreng yang kebetulan tetap buka. Stasiun subway sepi. Jalanan kosong. Bukan Seoul yang saya bayangkan, namun juga Seoul yang mungkin tidak banyak orang lihat.

Ramyeon dan Han River.
Tongin Market yang gagal.

Hostel saya di Seoul terletak tidak jauh dari Hongik University, atau biasa orang sebut Hongdae. Sabtu pagi, saya ingat jalan melewati salah satu taman di dekat Hongdae dan entah kenapa berminggu-minggu kemudian (hari ini) saya masih mengingat jelas momen itu. Bahkan saya ingat ada anjing yang sedang berlarian, dan pemiliknya yang tersenyum karena melihat saya tersenyum kecil melihat anjingnya.

Taman yang saya maksud.

Walaupun berangkat sendirian ke Seoul, saya senang bisa bertemu dengan teman-teman disana. Saya juga lega karena akhirnya bisa foto tanpa menggunakan timer. Sewaktu di Jeonju atau bahkan di Busan, timer adalah sahabat terbaik saya. Teman-teman bercanda bahwa foto-foto saya yang menggunakan timer terlihat seperti palsu atau photoshopped, dan saya hanya bisa balas tertawa melihatnya.

Akhirnya…

Setelah dua hari dengan teman, di hari terakhir sebelum pulang saya kembali melakukan perjalanan sendiri. Sebelum naik kereta cepat ke Busan (Ya, Train to Busan), saya menyempatkan pergi ke Dongdaemun Design Plaza karena penasaran dengan gedung yang banyak orang bilang megah. Sayangnya, karena Seollal (Chinese New Year), museum dan segala exhibition tutup saat saya di sana. Tapi gedungnya tetap patut dilihat, walau sebenarnya menyimpan satu jam di DDP ini sudah terbilang cukup.

Selain Seoul, saya juga beruntung dapat mengunjungi kota indah lainnya saat minggu terakhir saya di Korea Selatan. Gyeongju, kota yang terletak 50 menit dari Busan, adalah destinasi terakhir saya. Sesaat setelah turun dari bis, saya terus menggumam dalam hati tentang bagaimana saya ingin pergi ke kota ini lagi suatu saat dengan sahabat atau keluarga dekat. Jika kalian yang membaca punya rencana untuk pergi ke Korea Selatan, saya sarankan Jeonju dan Gyeongju. Kedua kota yang masih sangat mempertahankan peninggalan-peninggalan sejarah.

Foto yang diambil dengan analog dan film expired. Hasilnya seadanya.

Saya ingat sekali merasa bersalah karena bercerita ke teman-teman saya selagi di Gyeongju bagaimana saya tidak suka nasi. Mereka kewalahan mencari makanan lain yang bisa saya konsumsi disini, karena kebanyakan terbuat dari nasi atau mengandung babi. Saya terus bergumam bagaimana saya harus mulai belajar tidak takut pada nasi, atau setidaknya bisa pura-pura makan nasi. Pada akhirnya kami menemukan restoran yang menjual masakan Italia namun anehnya punya menu yang dideskripsikan sebagai ‘Mie Goreng’.

Kami juga menyempatkan pergi ke beberapa tempat lainnya yang tidak kalah indah, namun saya tidak begitu banyak mengambil momen karena asik menikmati hari. Prediksi cuaca hari itu mengatakan bahwa Gyeongju akan hujan sepanjang hari, tapi saat kami datang hanya langit kelabu dan beberapa titik hujan sebentar. Walau memang anginnya membuat kami kebingungan.

Kami kembali ke Busan jam tujuh malam hari itu, dan esoknya saya kembali menyempatkan jalan-jalan di daerah Busan untuk terakhir kalinya. Saya mengunjungi Busan Tower, karena kebetulan selama enam minggu terakhir saya belum pernah ke Busan Tower ketika siang hari. Sebelumnya saya pergi saat malam tahun baru, ketika semuanya penuh sesak dan tidak ada tempat untuk melihat dengan jelas tower-nya itu sendiri. Karena lagi-lagi saya sendiri, saya memutuskan untuk membayar jasa fotografi. Dengan membayar tiga ribu won (setara sekitar Rp36,000), saya mendapat foto yang sudah dicetak.

Jujur hari itu saya dilanda sedih yang lumayan dahsyat karena memikirkan fakta tentang meninggalkan Busan. Meninggalkan Korea Selatan. Kembali lagi ke rutinitas saya di Indonesia. Bahkan ketika menulis ini pun saya masih terus mengenang dan merasakan rindu yang berat kepada Korea Selatan.

Saya tidak punya banyak foto atau sesuatu spesial yang ingin saya bagi setelah momen tersebut. Sisa waktu yang saya punya dihabiskan dengan kebanyakan makan, packing dan mulai memikirkan strategi untuk bisa pergi ke bandara dengan aman dan tepat waktu. Saya tinggal di lantai lima gedung yang tidak memiliki elevator. Saya harus mengangkat semua barang menggunakan kedua kaki saya.

Akhir kata, saya menulis ini semua di tiga waktu berbeda. Dua puluh dua Januari, Empat belas Januari di sore dan malam hari. Akhirnya saya selesai. Saya tidak akan membaca ulang dan mencoba mengoreksi apapun. Semua hasil di atas saya buat tanpa koreksi. Saya sadar betul tulisannya akan sangat berbeda dan tidak teratur. Saya ingin menggambarkan semua momen dengan mentah, tanpa edit. Terima kasih yang sudah menyisakan waktu untuk membaca sampai akhir. Maaf harus membuang waktu membaca isi hati saya. Maaf juga hanya bisa bercerita sedikit dari ratusan cerita.

Sampai jumpa di cerita selanjutnya.

Bonus: Foto menggunakan timer.

--

--